Apakah Niat Perlu Dilafazhkan? Haruskah dengan Usholli …?

Februari 3, 2009 pukul 5:00 pm | Ditulis dalam Melafalkan Niat | 12 Komentar
Tag: , , , , , , ,

Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal (ralat dari posting sebelumnya yang terpotong)

writing6Sahabat -Al Faruq- Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu berkata,”Saya mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

’Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya’.” (HR. Bukhari & Muslim).

Inilah hadits yang menunjukkan bahwa amal seseorang akan dibalas atau diterima tergantung dari niatnya.

Setiap Orang Pasti Berniat Tatkala Melakukan Amal

Niat adalah amalan hati dan hanya Allah Ta’ala yang mengetahuinya. Niat itu tempatnya di dalam hati dan bukanlah di lisan. Setiap orang yang melakukan suatu amalan pasti telah memiliki niat terlebih dahulu. Karena tidak mungkin orang yang berakal yang punya ikhtiar (pilihan) melakukan suatu amalan tanpa niat. Seandainya seseorang disodorkan air kemudian dia membasuh kedua tangan, berkumur-kumur hingga membasuh kaki, maka tidak masuk akal jika dia melakukan pekerjaan tersebut -yaitu berwudhu- tanpa niat. Sehingga sebagian ulama mengatakan,

”Seandainya Allah membebani kita suatu amalan tanpa niat, niscaya ini adalah pembebanan yang sulit dilakukan.”

Apabila setan membisikkan kepada seseorang yang selalu merasa was-was dalam shalatnya sehingga dia mengulangi shalatnya beberapa kali. Setan mengatakan kepadanya,

”Hai manusia, kamu belum berniat”. Maka ingatlah,”Tidak mungkin seseorang mengerjakan suatu amalan tanpa niat. Tenangkanlah hatimu dan tinggalkanlah was-was seperti itu.”(Lihat Syarhul Mumthi, I/128 dan Al Fawa’id Dzahabiyyah, hal.12)

Apakah Perlu Melafalkan Niat?

Masyarakat kita sudah sangat akrab dengan melafalkan niat (maksudnya mengucapkan niat sambil bersuara keras atau lirih) untuk ibadah-ibadah tertentu. Karena demikianlah yang banyak diajarkan oleh ustadz-ustadz kita bahkan telah diajarkan di sekolah-sekolah sejak Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Contohnya adalah tatkala hendak shalat berniat ’Usholli fardhol Maghribi …’ atau pun tatkala hendak berwudhu berniat ’Nawaitu wudhu’a liraf’il hadatsi …’. Kalau kita melihat dari hadits di atas, memang sangat tepat kalau setiap amalan harus diawali niat terlebih dahulu. Namun apakah niat itu harus dilafalkan dengan suara keras atau lirih?!

Secara logika mungkin dapat kita jawab. Bayangkan berapa banyak niat yang harus kita hafal untuk mengerjakan shalat mulai dari shalat sunat sebelum shubuh, shalat fardhu shubuh, shalat sunnah dhuha, shalat sunnah sebelum dzuhur, dst. Sangat banyak sekali niat yang harus kita hafal karena harus dilafalkan. Karena ini pula banyak orang yang meninggalkan amalan karena tidak mengetahui niatnya atau karena lupa. Ini sungguh sangat menyusahkan kita. Padahal Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya agama itu mudah.” (HR. Bukhari)

Ingatlah setiap ibadah itu bersifat tauqifiyyah, sudah paketan dan baku. Artinya setiap ibadah yang dilakukan harus ada dalil dari Al Qur’an dan Hadits termasuk juga dalam masalah niat.
Setelah kita lihat dalam buku tuntunan shalat yang tersebar di masyarakat atau pun di sekolahan yang mencantumkan lafadz-lafadz niat shalat, wudhu, dan berbagai ibadah lainnya, tidaklah kita dapati mereka mencantumkan ayat atau riwayat hadits tentang niat tersebut. Tidak terdapat dalam buku-buku tersebut yang menyatakan bahwa lafadz niat ini adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan sebagainya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau Zadul Ma’ad, I/201,

”Jika seseorang menunjukkan pada kami satu hadits saja dari Rasul dan para sahabat tentang perkara ini (mengucapkan niat), tentu kami akan menerimanya. Kami akan menerimanya dengan lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi dan sahabatnya. Dan tidak ada petunjuk yang patut diikuti kecuali petunjuk yang disampaikan oleh pemilik syari’at yaitu Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam.”

Dan sebelumnya beliau mengatakan mengenai petunjuk Nabi dalam shalat,

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak mendirikan shalat maka beliau mengucapkan : ‘Allahu Akbar’. Dan beliau tidak mengatakan satu lafadz pun sebelum takbir dan tidak pula melafadzkan niat sama sekali.”

Maka setiap orang yang menganjurkan mengucapkan niat wudhu, shalat, puasa, haji, dsb, maka silakan tunjukkan dalilnya. Jika memang ada dalil tentang niat tersebut, maka kami akan ikuti. Dan janganlah berbuat suatu perkara baru dalam agama ini yang tidak ada dasarnya dari Nabi. Karena Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada dasar dari kami, maka amalan tersebut tertolak. (HR. Muslim).

Dan janganlah selalu beralasan dengan mengatakan ’Niat kami kan baik’, karena sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhuma mengatakan,

Betapa banyak orang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi, sanadnya shahih, lihat Ilmu Ushul Bida’, hal. 92)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat wa shallallahu ’ala Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.


Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal

12 Komentar »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. Assalamualaikum w w
    Tulisan ini disusun oleh al usdaz Muhammad Abduh Tuasikal, kelihatannya akhir dari tulisan ini belum sampai titik, jadi ana penasaran kapan akan disambung lagi.
    Jazakallah khoeron

  2. Wa’alaikumus salam akhi kuat slamet
    Afwan akhi ternyata postingan ini terputus. Sudah ana lengkapi lagi. Afwan kelalaian ana. Terima kasih telah diingatkan.

  3. Assalamu alaikum
    Sependapat dengan jawaban yang diberikan menurut ana memang benar adanya, Namun lebih dari sekadar paham, karena ana juga pengen belajar banyak mengenai syari’ Islam,dengan mengacu pada kumpulan Hadist Sahih Imam Bukhari dan Imam Muslim yang jumlahnya banyak dan belum ana temukan adanya Niat secara Lisan, mudah2n ana tidak salah.
    Ayo kita sama2 belajar untuk menambah ilmu khususnya Agama Islam, untuk bekal diakhirat nanti.

    Wassalamu alaikum.

  4. Jazakumullah, Antum bener.

  5. Assalamu’alaikum
    Semoga rahmatullah senantiasa bersama kita semua. Afwan akhi apa yang akhi sampaikan sejatinya memang benar adanya. Tapi akhi sebenarnya apa yang dilakukan oleh sebagian saudara kita yang melafalkan niat dalam berbagai amal mereka,itu semua dilakukan dalam rangka membiasakan lidah untuk mengucapkan sesuatu yang baik. Selain itu apa yang dilakukan oleh saudara kita itu menurut para ulama’ Syafi’iyah adalah termasuk disunnahkan karena untuk menuntun hati agar antara lidah dengan hati bisa lebih siap untuk mengkhusyukkan sholat.
    Imam Ramli mengatakan:

    “Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dan karena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437)

    Sebenarnya lagi tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.

    عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً

    “Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim).

    Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.

    Adapun memfitnah, bertentangan dan perpecahan antar umat Islam karena masalah hukum sunnah adalah menyalahi syari’at Allah SWT.

    Wallahu’alam bisshawab
    Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

  6. @risalatul
    Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barokatuh.
    Do’a yang sangat bagus sekali akhi.
    Dan terima kasih telah memberikan tanggapan yang sangat menarik. Kami cuma bisa berkomentar sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan di atas.

    ”Jika seseorang menunjukkan pada kami satu hadits saja dari Rasul dan para sahabat tentang perkara ini (mengucapkan niat), tentu kami akan menerimanya. Kami akan menerimanya dengan lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi dan sahabatnya. Dan tidak ada petunjuk yang patut diikuti kecuali petunjuk yang disampaikan oleh pemilik syari’at yaitu Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam.”

    Kami hargai pendapat ulama yang Anda sampaikan. Namun, kami hanya mau mengikuti perkataan ulama selama itu bersesuaian dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak bersesuaian, maka cukup kami katakan:

    Semua perkataan bisa ditolak selain pendapat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Jika antum katakan niat kami kan baik, agar dapat membantu kekhusyu’an ketika kita mengucapkan (melafazhkan) niat. Maka cukup kami sanggah:
    Jika itu memang baik, siapakah yang melaksanakan shalat yang paling bagus: Anda ataukah Nabi dan sahabatnya [?] Kok mereka tidak melafazhkan niat, sedangkan Anda iya.
    Kami katakan sebagaimana perkataan Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang menunjukkan prinsip Ahlus Sunnah: “
    Seandainya hal tersebut baik, tentu para sahabat akan mendahului kita dalam melaksanakannya.”
    Dan ingat akhi, ada suatu kaedah: La qiyasa fil ‘ibadah (tidak ada qiyas atau analogi dalam ibadah). Jadi, alasan yang antum kemukakan terakhir dengan diqiyas dengan haji dapat disanggah dengan kaedah ini.
    Siapa yang menfitnah umat [?] Masa’ orang yang menyampaikan ajaran Nabi dituduh menfitnah [?]
    Apakah masalah melafazhkan niat termasuk masalah sunnah yang masih diperselisihkan [?] Siapa bilang [?] Di sana, tidak ada dalil dari HADITS yang menunjukkan adanya melafazhkan niat, kok malah dikatakan khilaf [?] Coba ditinjau lagi, kalo masalah yang kami sampaikan ini akan memecah belah umat.
    Kami hanya menyampaikan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar umat menjadi mudah, tidak perlu menghafal niat yang begitu banyak. Justru orang yang menganjurkan melafazhkan niat yang mempersulit umat ini, padahal agama ini adalah mudah, tidak membuat sulit.
    Semoga engkau selalu mendapat taufik Allah akhi.
    Inni uhibbuka fillah.

  7. iya yah kadang kita mau dipersulit atau mempersulit diri sendiri, sedangkan agama ini mudah dan membuat mudah. syukron akhi atas tulisannya, serukanlah sunnah, padamkanlah bid’ah.

  8. Memang saya sependapat dan “idem” komentar sdr abu fathon.
    yang saya rasakan cara menyusun argumentasinya amat lembut, agar dapat memahami dan mengkuti tanpa berdebat tentang niat yang dilafadzkan itu.
    Saluut atas penyampaian tersebut ||||

  9. Saya memahami apa yang Antum tulis. Jadi untuk lebih jelasnya, bahwa untuk memulai sholat, puasa, dll. tidaklah perlu untuk menyusun kata-kata di dalam hati(batin) termasuk bacaan ta’awudz dan basmallah ya …. ?

  10. Yang kami jelaskan tetap ada niat, namun tidak perlu dilafazhkan. Bahkan yang menyatakan niat cukup dalam hati dan tidak perlu dilafazhkan adalah pendapat mayoritas ulama bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan itulah ijma’ (kesepakatan) para ulama. Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in yang mengikuti jejak Nabi dan sahabat tidak pernah melafazhkan niat. Sekali lagi jika memang mereka melafazkan niat, maka pasti ada dalil yang mutawatir mengenai hal ini. Namun, kok tidak ada? Ini menunjukkan bahwa niat tidak perlu dilafazhkan. Sekali lagi pahamilah bacaan di atas.
    Ingat pula bahwa niat letaknya dalam hati sebagaimana ijma’ para ulama (kesepakatan mereka). [Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang banyak meneliti pendapat para ulama madzhab]
    Silakan lihat pembahasan niat di kitab Shohih Fiqih Sunnah, Abu Malik, jilid pertama mengenai syarat-syarat shalat.
    Mengenai bacaan ta’awudz dan basmalah, ya tetap harus dilafazkan dengan suara yang lirih, bukan dalam hati. Berbeda dengan niat karena niat letaknya dalam hati.
    Semoga Allah memberi taufik padamu.

  11. ajarin ane, biar lebih jelas,
    1. niat tidak dilafazhkan, bahasa lainnya “diucapkan” dalam hati,atau ada didalam hati?. Ane bingung soalnya selama ini antara hati dalam pengertian hati nurani dan hati dalam pengertian terpikir dikepala namun tidak diucapkan agak rancu.( ane baca penelitian terakhir ilmiah kedokteran menyatakan pemahaman tentang hati( abstrak) itu ada disatu bagian dari sel otak, artinya ya kepala yang dikatakan untuk berpikir ini terdapat hati yang kita bicarakan ini.
    2. Jika niat tetap ada, dan didalam hati “diucapkannya”, bagaimana bunyi redaksinya?
    3. Jika redaksinya dari sunnah tidak ada, tentunya banyak bunyi redaksi antar orang, bolehkah? adakah dalil yang menunjukkannya?
    4. Atau bila niat tanpa perlu redaksi yang dipikirkan dikepala turun kehati ( dalam pemahaman umum, bukan penjelasan ane diatas)bagaimana caranya?
    Ane pernah baca bila kita mau sholat jamaah dimasjid niat itu telah dianggap ada sejak kita mau sholat dimasjid itu walaupun kita masih ada disuatu tempat( tentunya niat yang ” terpikirkan” “mau sholat jamaah dimasjid sesuai sholat wajib saat itu.
    Bantu ane ya teman teman?

  12. Jadi, intinya: bunyi redaksi niat tidak tertentu. Jadi sekedar kehendak hati untuk melaksanakan shalat maghrib misalnya maka itu sudah termasuk berniat. Itu gampangannya.
    Mengenai pernyataan:

    Ane pernah baca bila kita mau sholat jamaah dimasjid niat itu telah dianggap ada sejak kita mau sholat dimasjid itu walaupun kita masih ada disuatu tempat( tentunya niat yang ” terpikirkan” “mau sholat jamaah dimasjid sesuai sholat wajib saat itu.

    Ya pernyataan di atas betul


Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.
Entries dan komentar feeds.