Awali Setiap Amalan Dengan Ilmu

Maret 16, 2009 pukul 3:00 am | Ditulis dalam Dunia Muda | 2 Komentar
Tag: , ,

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

hand11

Mu’adz bin Jabal mengatakan,

العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)

Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)”. Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad [47]: 19).

Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.

Sufyan bin ‘Uyainah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)

Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)

Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat diterimabenarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (Fathul Bari, 1/108)

waktu2
Semoga para pembaca dapat termotivasi mempelajari agama dengan mengetahui keutamaan-keutamaan ilmu din berikut ini.
Pertama, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu di akhirat dan di dunia
Di akhirat, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat berbanding lurus dengan amal dan dakwah yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang yang berilmu dari hamba-hamba yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia lakukan.
Allah Ta’ala berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al Mujadalah: 11)

Kedua, seorang yang berilmu adalah cahaya yang banyak dimanfaatkan manusia untuk urusan agama dan dunia meraka.
Dalilnya, satu hadits yang sangat terkenal bagi kita, kisah seorang laki-laki dari Bani Israil yang membunuh 99 nyawa. Kemudian dia ingin bertaubat dan dia bertanya siapakah di antara penduduk bumi yang paling berilmu, maka ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia bertanya kepada si ahli ibadah, apakah ada taubat untuknya. Ahli ibadah menganggap bahwa dosanya sudah sangat besar sehingga dia mengatakan bahwa tidak ada pintu taubat bagi si pembunuh 99 nyawa. Maka dibunuhlah ahli ibadah sehigga genap 100 orang yang telah dibunuh oleh laki-laki dari Bani Israil tersebut.
Akhirnya dia masih ingin bertaubat lagi, kemudian dia bertanya siapakah orang yang paling berilmu, lalu ditunjukkan kepada seorang ulama. Dia bertanya kepada ulama tersebut, “Apakah masih ada pintu taubat untukku”. Maka ulama tersebut mengatakan bahwa masih ada pintu taubat untuknya dan tidak ada satupun yang menghalangi dirinya untuk bertaubat. Kemudian ulama tersebut menunjukkan kepadanya agar berpindah ke sebuah negeri yang penduduknya merupakan orang shalih, karena kampungnya merupakan kampung yang dia tinggal sekarang adalah kampung yang penuh kerusakan. Oleh karena itu, dia pun keluar meninggalkan kampung halamannya. Di tengah jalan sebelum sampai ke negeri yang dituju, dia sudah dijemput kematian. (HR. Bukhari dan Muslim). Kisah ini merupakan kisah yang sangat masyhur. Lihatlah perbedaan ahli ibadah dan ahli ilmu.
Ketiga, Ilmu Bagaikan Air yang Menyuburkan Tanah dan Menumbuhkan Tanaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ
“Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadid , maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah tanah qi’an . Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpamakan wahyu yang Allah beri kepada beliau seperti hujan yang bermanfaat dan bukan hujan yang berbahaya. Sedangkan hati manusia dimisalkan dengan tanah. Tanah hanya hidup dengan adanya air hujan. Jika tidak terkena air hujan maka tanah akan mati dan gersang. Tanah akan hilang kegersangannya bila mendapatkan air hujan. Maka hal ini menunjukkan bahwa hati manusia yang tidak pernah disirami wahyu merupakan hati yang gersang atau hati yang mati. Ini menunjukkan bahwa hati hanya akan hidup, sehat dan akan tumbuh dengan baik bila hati tersebut disirami dengan wahyu yaitu Al Quran dan As Sunnah.

Makna tekstual (zhahir) hadits ini menunjukkan ada tiga jenis manusia, namun jika diteliti lebih mendetail, hadits ini menceritakan tentang empat jenis manusia,
a. Manusia yang dimisalkan sebagai tanah yang baik
Manusia jenis pertama ini merupakan manusia yang mempelajari ilmu syar’i, lalu ilmu syar’i terserap di dalam hatinya sehingga membuahkan amal untuk dirinya secara maksimal. Dia meninggalkan hal yang haram dan makruh dan dia juga mengerjakan hal yang wajib dan sunnah. Selain mengamalkan ilmunya untuk dirinya sendiri, dia juga mengajarkannya kepada orang lain sehingga ilmu dan amalnya bermanfaat bagi orang lain.
b. Manusia yang dimisalkan sebagai ajadid
Manusia ini masih mendapat pujian dari Allah. Manusia jenis kedua ini merupakan manusia yang mempelajari ilmu syar’i dan dia mampu menampungnya sehingga bisa memahami ilmu syar’i yang dia pelajari, namun dia kurang maksimal dalam mengambil manfaat dari ilmunya tersebut. Artinya dia bersemangat tinggi menjauhi hal yang haram, namun kurang perhatian dlm meninggalkan yang makruh. Dia pun sangat bersemangat dalam mengerjakan yang wajib namun dia kurang bersemangat mengerjakan hal-hal yang sunnah. Dia pun mengajarkan agamanya, sehingga orang lain banyak mendapat manfaaat dari ilmunya.
c. Manusia yang sepeti tanah qi’an
Manusia jenis ketiga ini adalah manusia yang masih mempelajari ilmu syar’i, namun dirinya tidak dapat memahami ilmu yang telah dipelajari. Manusia jenis ke tiga ini juga masih baik karena dirinya masih mau mempelajari ilmu syar’i, walaupun dia tidak dapat memahami ilmu syar’i yang dipelajarinya. Berhubung dia tidak memahami ilmu syar’i yang dipelajarinya, maka dia tidak mampu mengajarkan kepada orang lain. Orang jenis ketiga ini tidak termasuk bagian yang terlaknat dari dunia seperti yang disabdakan Rasulullah,
الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرَ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ أَوْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا
“Dunia dan seluruh isinya dilaknati, kecuali dzikir mengingat Allah, segala yang dicintai-Nya, orang yang berilmu atau orang yang sedang belajar menuntut ilmu.” (HR Ibnu Majah no. 4112 dan Tirmidzi no. 2322. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi dan Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)
d. Manusia yang tidak mau mengangkat kepalanya terhadap wahyu
Manusia jenis ke empat inilah manusia yang tercela, yaitu manusia yang tidak mau mempelajari ilmu syar’i.

Keempat, Ilmu adalah Warisan Para Nabi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Kelima, Orang yang Berilmu yang Akan Mendapatkan Seluruh Kebaikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ilmu Apa Yang Wajib Dipelajari dalam Agama Ini?
Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia adalah ilmu yang menuntut untuk diamalkan saat itu, adapun ketika amalan tersebut belum tertuntut untuk diamalkan maka belum wajib untuk dipelajari. Jadi ilmu mengenai tauhid, mengenai 2 kalimat syahadat, mengenai keiman, adalah ilmu yang wajib dipelajari ketika seseorang menjadi muslim, karena ilmu ini adalah dasar yang harus diketahui.
Kemudian ilmu mengeani shalat, hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti bersuci dan lainnya, merupakan ilmu berikutnya yang harus dipelajari. Kemudian ilmu tentang hal-hal yang halal dan haram, ilmu tentang mualamalah dan seterusnya.
Contohnya seseorang yang saat ini belum mampu berhaji, maka ilmu tentang haji belum wajib untuk ia pelajari saat ini. Akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji, ia wajib mengetahui ilmu tentang haji dan segala sesuatu yang berkaitan dengan haji. Adapun ilmu tentang tauhid, tentang keimanan, adalah hal pertama yang harus dipelajari karena setiap amalan yang ia lakukan tentunya berkaitan dengan niat. Kalau niatnya dalam melakukan ibadah karena Allah maka itulah amalan yang benar. Adapun kalau niatnya karena selain Allah maka itu adalah amalan syirik. Ini semua jika dilatarbelakangi dengan aqidah dan tauhid yang benar.
Isilah hari-harimu wahai pemuda dengan mendalami ajaran agamamu. Karena semua yang ada di dunia ini tercela selain dua golongan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرَ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ وَعَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا
“Ingatlah, dunia adalah terlaknat, terlaknat semua yang ada di dalamnya. Kecuali orang yang berdzikir kepada Allah, yang bersahabat dengannya dan orang alim (ulama) atau orang yang belajar agama.” (HR. Tirmidzi no. 2492. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih)

Jadi, awalilah setiap amalan ibadahmu dengan ilmu.
Umar bin Abdul Aziz mengatakan,

من عبد الله بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Yang selalu mengaharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal
17 Rabi’ul Awwal 1430 H

2 Komentar »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. pak ustadz saya minta izin untuk mencuplik, setiap tulisannya pak ustadz yang saya baca….. akan saya jadikan motivasi untuk pengingat, akan saya pampang dalam setiap tempat, akan saya sebarkan kepada teman” terdekat… semoga kebaikan dan izin dari pak ustadz diberikan balasan oleh Allah….

    syukron

  2. Iya silakan


Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.
Entries dan komentar feeds.