Anjuran Adzan Di Telinga Bayi yang Baru Lahir

Januari 27, 2009 pukul 6:00 pm | Ditulis dalam Meluruskan | 19 Komentar
Tag: , , , ,

Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdulillah wash sholaatu was salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
menara-masjidKebanyakan buku atau kitab yang menjelaskan hal-hal yang mesti dilakukan ketika menyambut sang buah hati adalah amalan satu ini yaitu adzan dan iqomah di telinga bayi yang baru lahir. Bahkan bukan penulis-penulis kecil saja, ulama-ulama hebat pun menganjurkan hal ini sebagaimana yang akan kami paparkan. Namun, tentu saja dalam permasalahan ini yang jadi pegangan dalam beragama adalah bukan perkataan si A atau si B. Yang seharusnya yang jadi rujukan setiap muslim adalah Al Qur’an dan hadits yang shohih. Boleh kita berpegang dengan pendapat salah satu ulama, namun jika bertentangan dengan Al Qur’an atau menggunakan hadits yang lemah, maka pendapat mereka tidaklah layak kita ikuti. Itulah yang akan kami tinjau pada posting kali ini. Apakah benar adzan atau iqomah pada bayi yang baru lahir disyari’atkan (disunnahkan)? Kami akan berusaha meninjau dari pendapat para Imam Madzhab, lalu kami akan tinjau dalil yang mereka gunakan. Agar tidak berpanjang lebar dalam muqodimah, silakan simak pembahasan berikut ini.

Pendapat Para Ulama Madzhab

Para ulama Hambali hanya menyebutkan permasalahan adzan di telinga bayi saja.
Para ulama Hanafiyah menukil perkataan Imam Asy Syafi’i dan mereka tidak menganggap mustahil perkataannya (maksudnya: tidak menolak perkataan Imam Asy Syafi’i yang menganjurkan adzan di telinga bayi, pen).
Imam Malik memiliki pendapat yang berbeda yaitu beliau membenci perbuatan ini, bahkan menggolongkannya sebagai perkara yang tidak ada tuntunannya.
Sebagian ulama Malikiyah menukil perkataan para ulama Syafi’iyah yang mengatakan bahwa tidak mengapa mengamalkan hal ini. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/779, pada Bab Adzan, Wizarotul Awqof, Asy Syamilah)
Ulama lain yang menganjurkan hal ini adalah Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ibnul Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.
Inilah pendapat para ulama madzhab dan ulama lainnya. Intinya, ada perselisihan dalam masalah ini. Lalu manakah pendapat yang kuat?

Tentu saja kita harus kembalikan pada dalil yaitu perkataan Allah dan Rasul-Nya.
Itulah sikap seorang muslim yang benar. Dia selalu mengembalikan suatu perselisihan yang ada kepada Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana hal ini diperintahkan dalam firman Allah,

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (QS. Asy-Syuura : 10)

Ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir rahimahullah, mengatakan, ”Maksudnya adalah (perkara) apa saja yang diperselisihkan dan ini mencakup segala macam perkara, maka putusannya (dikembalikan) pada Allah yang merupakan hakim dalam perselisihan ini. (Di mana perselisihan ini) diputuskan dengan kitab-Nya dan Sunnah (petunjuk) Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala pada ayat yang lain,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).”(QS. An Nisa’ [4] : 59).

Yang (memutuskan demikian) adalah Rabb kita yaitu hakim dalam segala perkara. Kepada-Nya lah kita bertawakkal dan kepada-Nya lah kita mengembalikan segala urusan. –Demikianlah perkataan beliau rahimahullah dengan sedikit perubahan redaksi-.

Dalil Para Ulama yang Menganjurkan

Hadits pertama:
Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
“Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)

Hadits kedua:
Dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Bayi siapa saja yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan dikumandangkan iqomah di telinga kiri, maka ummu shibyan tidak akan membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin (perempuan).

Hadits ketiga:
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan,
أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد ، فأذن في أذنه اليمنى ، وأقام في أذنه اليسرى
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada hari beliau dilahirkan maka beliau adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Untuk memutuskan apakah mengumandangkan adzan di telinga bayi termasuk anjuran atau tidak, kita harus menilai keshohihan hadits-hadits di atas terlebih dahulu.

Penilaian Pakar Hadits Mengenai Hadits-hadits Di Atas

Penilaian hadits pertama:
Para perowi hadits pertama ada enam,
مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِى عَاصِمُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ
yaitu: Musaddad, Yahya, Sufyan, ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, ‘Ubaidullah bin Abi Rofi’, dan Abu Rofi’.
Dalam hadits pertama ini, perowi yang jadi masalah adalah ‘Ashim bin Ubaidillah.

Ibnu Hajar menilai ‘Ashim dho’if (lemah). Begitu pula Adz Dzahabi mengatakan bahwa Ibnu Ma’in mengatakan ‘Ashim dho’if (lemah). Al Bukhari dan selainnya mengatakan bahwa ‘Ashim adalah munkarul hadits (sering membawa hadits munkar).

Dari sini nampak dari sisi sanad terdapat rawi yang lemah sehingga secara sanad, hadits ini sanadnya lemah.
Ringkasnya, hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if).
Kemudian beberapa ulama menghasankan hadits ini seperti At-Tirmidzi. Beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan. Kemungkinan beliau mengangkat hadits ini ke derajat hasan karena ada beberapa riwayat yang semakna yang mungkin bisa dijadikan penguat. Mari kita lihat hadits kedua dan ketiga.

Penilaian hadits kedua:
Para perowi hadits kedua ada lima,
حدثنا جبارة ، حدثنا يحيى بن العلاء ، عن مروان بن سالم ، عن طلحة بن عبيد الله ، عن حسين
yaitu: Jubaaroh, Yahya bin Al ‘Alaa’, Marwan bin Salim, Tholhah bin ‘Ubaidillah, dan Husain.

Jubaaroh dinilai oleh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi dho’if (lemah).
Yahya bin Al ‘Alaa’ dinilai oleh Ibnu Hajar orang yang dituduh dusta dan Adz Dzahabi menilainya matruk (harus ditinggalkan).
Marwan bin Salim dinilai oleh Ibnu Hajar matruk (harus ditinggalkan), dituduh lembek dan juga dituduh dusta.
Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321 menilai bahwa Yahya bin Al ‘Alaa’ dan Marwan bin Salim adalah dua orang yang sering memalsukan hadits.

Dari sini sudah dapat dilihat bahwa hadits kedua ini tidak dapat menguatkan hadits pertama karena syarat hadits penguat adalah cuma sekedar lemah saja, tidak boleh ada perowi yang dusta. Jadi, hadits kedua ini tidak bisa mengangkat derajat hadits pertama yang dho’if (lemah) menjadi hasan.

Penilaian hadits ketiga:
Para perowi hadits ketiga ada delapan,
وأخبرنا علي بن أحمد بن عبدان ، أخبرنا أحمد بن عبيد الصفار ، حدثنا محمد بن يونس ، حدثنا الحسن بن عمر بن سيف السدوسي ، حدثنا القاسم بن مطيب ، عن منصور ابن صفية ، عن أبي معبد ، عن ابن عباس
yaitu: Ali bin Ahmad bin ‘Abdan, Ahmad bin ‘Ubaid Ash Shofar, Muhammad bin Yunus, Al Hasan bin Amru bin Saif As Sadusi, dan Qosim bin Muthoyyib, Manshur bin Shofiyah, Abu Ma’bad, dan Ibnu Abbas.
Al Baihaqi sendiri dalam Syu’abul Iman menilai hadits ini dho’if (lemah). Namun, apakah hadits ini bisa jadi penguat hadits pertama tadi? Kita harus melihat perowinya lagi.
Perowi yang menjadi masalah dalam hadits ini adalah Al Hasan bin Amru.
Al Hafidz berkata dalam Tahdzib At Tahdzib no. 538 mengatakan bahwa Bukhari berkata Al Hasan itu kadzdzab (pendusta) dan Ar Razi berkata Al Hasan itu matruk (harus ditinggalkan). Sehingga Al Hafidz berkesimpulan bahwa Al Hasan ini matruk (Taqrib At Tahdzib no. 1269).
Kalau ada satu perowi yang matruk (yang harus ditingalkan) maka tidak ada pengaruhnya kualitas perowi lainnya sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan penguat bagi hadits pertama tadi.
Ringkasnya, hadits kedua dan ketiga adalah hadits maudhu’ (palsu) atau mendekati maudhu’.
(Takhrij ketiga hadits di atas adalah faedah dari guru kami Ustadz Abu Ali. Semoga Allah selalu merahmati dan menjaga beliau)
Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa hadits pertama tadi memang memiliki beberapa penguat, tetapi sayangnya penguat-penguat tersebut tidak bisa mengangkatnya dari dho’if (lemah) menjadi hasan. Maka pernyataan sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits ini hasan adalah suatu kekeliruan. Syaikh Al Albani juga pada awalnya menilai hadits tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang hasan. Namun, akhirnya beliau meralat pendapat beliau ini sebagaimana beliau katakan dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321. Jadi kesimpulannya, hadits yang membicarakan tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah sehingga tidak bisa diamalkan.
Seorang ahli hadits Mesir masa kini yaitu Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini hafizhohullah mengatakan,

Hadits yang menjelaskan adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah. Sedangkan suatu amalan secara sepakat tidak bisa ditetapkan dengan hadits lemah. Saya telah berusaha mencari dan membahas hadits ini, namun belum juga mendapatkan penguatnya (menjadi hasan).” (Al Insyirah fi Adabin Nikah, hal. 96, dinukil dari Hadiah Terindah untuk Si Buah Hati, Ustadz Abu Ubaidah, hal. 22-23)

Penutup

Dalam penutup kali ini, kami ingin menyampaikan bahwa memang dalam masalah adzan di telinga bayi terdapat khilaf (perselisihan pendapat). Sebagian ulama menyatakan dianjurkan dan sebagiannya lagi mengatakan bahwa amalan ini tidak ada tuntunannya. Dan setelah membahas penilaian hadits-hadits tentang dianjurkannya adzan di telinga bayi di atas terlihat bahwa semua hadits yang ada adalah hadits yang lemah bahkan maudhu’ (palsu). Kesimpulannya, hadits adzan di telinga bayi tidak bisa diamalkan sehingga amalan tersebut tidak dianjurkan.
Jika ada yang mengatakan, “Kami ikut pendapat ulama yang membolehkan amalan ini.”
Cukup kami sanggah,
“Ingatlah saudaraku, di antara pendapat-pendapat yang ada pasti hanya satu yang benar. Coba engkau memperhatikan perkataan para salaf berikut ini.

Ibnul Qosim mengatakan bahwa beliau mendengar Malik dan Al Laits berkata tentang masalah perbedaan pendapat di antara sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah tepat perkataan orang-orang yang mengatakan bahwa khilaf (perbedaan pendapat) boleh-boleh saja (ada kelapangan). Tidaklah seperti anggapan mereka. Di antara pendapat-pendapat tadi pasti ada yang keliru dan ada benar.”
Begitu pula Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik ditanya mengenai orang yang mengambil hadits dari seorang yang terpercaya dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau ditanya, “Apakah engkau menganggap boleh-boleh saja ada perbedaan pendapat (dalam masalah ijtihadiyah, pen)?”
Imam Malik lantas menjawab, “Tidak demikian. Demi Allah, yang diterima hanyalah pendapat yang benar. Pendapat yang benar hanyalah satu (dari berbagai pendapat ijtihad yang ada). Apakah mungkin ada dua pendapat yang saling bertentangan dikatakan semuanya benar [?] Tidak ada pendapat yang benar melainkan satu saja.” (Dinukil dari Shohih Fiqh Sunnah, 1/64)

Demikian suadaraku, penjelasan mengenai adzan di telinga bayi. Semoga dengan penjelasan pada posting kali ini, kaum muslimin mengetahui kekeliruan yang telah berlangsung lama di tengah-tengah mereka dan semoga mereka merujuk pada kebenaran. Semoga tulisan ini dapat memperbaiki kondisi kaum muslimin saat ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumman fa’ana bimaa ‘allamtana, wa ‘alimna maa yanfa’una wa zidnaa ‘ilmaa. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Keterangan:
Hadits shohih adalah hadist yang memenuhi syarat: semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil, dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).
Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari sisi dhobith (kuatnya hafalan).
Hadits dho’if (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih seperti sanadnya terputus, menyelisihi riwayat yang lebih kuat (lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).
Hadits maudhu’ (palsu) adalah hadits yang salah satu perowinya dinilai kadzdzib (pendusta) yakni berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits matruk (yang harus ditinggalkan) adalah hadits yang salah satu perowinya dituduh kadzib (berdusta).

Panggang, Gunung Kidul, 28 Muharram 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal

19 Komentar »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. Assalamualaikum Wr Wb..
    Saya ingin sekali bertanya apakah di dalam Hukum Islam dilarang jika dalam satu tahun sebuah keluarga menggelar acara (akad & resepsi) pernikahan sebanyak dua kali??
    Terima kasih banyak
    Wassalamualaikum Wr Wb

  2. assalamualaikum wr.wb
    pertanyaan sama pak
    Saya ingin sekali bertanya apakah di dalam Hukum Islam dilarang jika dalam satu tahun sebuah keluarga menggelar acara (akad & resepsi) pernikahan sebanyak dua kali??
    Terima kasih banyak.. mohon jawabnya di email saya
    Wassalamualaikum Wr Wb

  3. bagus infonya…bayi tersebut nantinya mudah-mudahan menjadi anak yang soleh !!

    Kunjungi juga blog Qu :

    http://putracenter.wordpress.com

  4. barakallohu fikum. kalau boleh ana minta no tlp atau hp antum. ana bisa lebih dekat untuk konsultasi atau bagi ilmu.

  5. @jundi
    Wa fiika barokallah.
    Silakan lht profil ana di page ‘about me’.
    Inni uhibbuka fillah.

  6. buat yang tidak membolehkan adzan tersebut apakah ada hadistnya mas

  7. […] Anjuran Adzan Di Telinga Bayi yang Baru Lahir Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal Alhamdulillah wash sholaatu was salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa […] […]

  8. […] Anjuran Adzan Di Telinga Bayi yang Baru Lahir Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal Alhamdulillah wash sholaatu was salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa […] […]

  9. @ Omiyan
    Sudah kami sebutkan pada 3 hadits di atas. Silakan disimak kembali. Barakallahu fikum.

  10. @ ira dan nana
    Wa’alaikumus salam wa rahmatullahi wa barakatuh.
    Tidak terlarang, namun hal tersebut tidak disyari’atkan. Kalau resepsi pernikahan diadakan 2 kali, maka yang pertama saja yang dianggap sebagai walimahan. Wallahu a’lam

  11. assalamualaikum wr wb.

    saya sangat menghargai apa yang ditulis oleh penulis di sini.
    keilmuan saya dalam agama mungkin belum setinggi saudara.

    beberapa saat yang lalu istri saya melahirkan anak pertama kami, dan saya meng-adzankan, meng-iqomahkan, dan mengajarkan kalimat-kalimat dzikir di telinganya.

    niat saya melakukan itu hanyalah satu
    yaitu agar telinga anak saya lebih akrab dengan suara adzan dan qomat semoga kelak setelah aqil-baligh dia akan sendirinya berusaha mendekati dan berkomunikasi dengan Tuhannya melalui ibadah sholat.

    begitupun harapan saya dengan kalimat-kalimat dzikir yang saya lantunkan di telinganya semoga dia dapat melafadzkannya setiap saat.

    wallahu alam bishawab

    ajarkanlah dan perdengarkanlah janin, bayi dan anak-anak kita dengan alunan ayat-ayat al-Quran, adzan, iqomah, kalimat-kalimat dzikir, bukan dengan lagu-lagu maupun musik-musik seperti klasik,jazz,instrumental dsb.

    ingat, sebagai muslim, kita punya banyak kebaikan.
    selama tidak melanggar aqidah dan ibadah dan tidak mengandung unsur kemudharatan, saya kira boleh-boleh saja.

    terima kasih atas perhatiannya
    wabillahi taufik wal hidayah

    wassalamualaikum wr wb.

    salam ukhuwah islamiyah
    wahyu

  12. Assalamu’alaikum, Maksud ira & nana apa mungkin 2kali acara ini untuk 2 mempelai yg berbeda ? karena ana juga pernah tau ‘adat’ di jawa memang melarang mengadakan resepsi 2 kali misal bulan ini kakaknya lalu 3 bulan lagi adiknya, seperti ini tidak boleh, harus nunggu tahun depan untuk nikah. Alasannya ya ‘pokoknya ga boleh.titik’ kata orang tua… -wallohu a’lamu bishowab- Alloh yubaarik fiyk

  13. @ wahyu
    Wa’alaikumus salam wa rohmatullahi wa barokatuh
    Senang sekali kami mendapat komentar dari antum. Sebagaimana kami jelaskan dalam posting ini, bahwa yang lebih tepat amalan adzan di telinga bayi tidaklah dianjurkan. Lalu jika tetap ingin dipraktekan, yaa gimana lagi? Amalan tersebut tidaklah dianjurkan, walaupun antu menyampaikan berbagai alasan di atas. Perlu diperhatikan bahwa dalam setiap kita beramal selain harus dengan niat baik (ikhlash) juga HARUS ADA TUNTUNAN DARI NABI SHALLALLAHU ‘ALAHI WA SALLAM. Jika tidak ada tuntunan, maka amalan tersebut tidak diterima.
    Kami katakan pula bahwa agar anak jadi sholeh atau jadi sering mendenagr Al Qur’an, tidak mesti dengan amalan yang antum sampaikan. Masih banyak ajaran dan sunnah Nabi lainnya yang bisa diamalkan ketika bayi baru lahir.

    Semoga Allah selalu memberi taufik padamu.

  14. Assalamualaikum wr wb
    Iya benar maksud saya seperti yang diutarakan oleh ArZA..
    Adik dari calon suami saya baru saja menikah..
    Dan apakah dalam Hukum Islam ada larangan apabila saya dan calon suami saya juga menikah beberapa bulan selanjutnya pada tahun ini/dalam tahun yang sama dengan adik calon suami saya?
    Karena memang di Adat Jawa mitos melarang nya…
    Mohon diberikan pencerahan menurut Hukum Islam..
    Terima kasih banyak,
    Wassalamualaikum wr wb

  15. Wa’alaikumus salam wa rahmatullahi wa barakatuh.
    Slama ini kami blm tahu dalil yg melarangnya. Itu kan hanya mitos. Tidak selamanya mitos tu benar, bahkan seringkali menyelisihi ajaran islam yg penuh toleran dan kemudahan. Jadi, hal ini tidak terlarang.
    Coba sj jelaskan pada keluarga, bhwa dalam ajaran islam tdk diajarkan sbgmana mitos yg ukhti sebutkan. Jelaskanlah dgn lemah lembut dan bijaksana.

    Mungkin jg ada benarnya, jika memang dlm setahun sulit mengdakan dua hajatan skaligus karena kesulitan biaya. Namun, kalo alasannya tdk dmikian,hanya skdar mitos, mk dalam ajaran islam tdk ada ajaran seperti ini.
    Wallahu a’lam.
    Smoga ukhti dimudahkan dlm stiap urusan dan doakan jg smga ukhti dimudahkan untk sgera nikah.
    Barokallahu fikum.

  16. Wa’alaikumus salam wa rahmatullahi wa barakatuh. Ukhti.
    Slama ini kami blm tahu dalil yg melarangnya. Itu kan hanya mitos. Tidak selamanya mitos tu benar, bahkan seringkali menyelisihi ajaran islam yg penuh toleran dan kemudahan. Jadi, hal ini tidak terlarang.
    Coba sj jelaskan pada keluarga, bhwa dalam ajaran islam tdk diajarkan sbgmana mitos yg ukhti sebutkan. Jelaskanlah dgn lemah lembut dan bijaksana.

    Mungkin jg ada benarnya, jika memang dlm setahun sulit mengdakan dua hajatan skaligus karena kesulitan biaya. Namun, kalo alasannya tdk dmikian,hanya skdar mitos, mk dalam ajaran islam tdk ada ajaran seperti ini.
    Wallahu a’lam.
    Smoga ukhti dimudahkan dlm stiap urusan dan doakan jg smga ukhti dimudahkan untk sgera nikah.
    Barokallahu fikum.

  17. Assalamualaikum wr wb..
    Amin…Amin…Amin.. Ya Allah…
    Terima kasih banyak atas doa dan pencerahan nya…
    Semoga Allah SWT memberikan limpahan barokah kepada ikhwan M Abdul..
    Terima kasih juga buat ikhwan ArZA,
    Semoga Allah SWT selalu memberikan petunjuk dan pertolongan kepada kita semua..
    Amin
    Wassalamualaikum wr wb

  18. waktu Khansa lahir saya juga azankan, padahal sebelum melakuin itu saya sudah studi literatur dan mendapati 3 hadits di atas sebagai landasan hukumnya, jadi saya pikir hal itu memang dianjurkan. Baru tahu sekarang kalau haditsnya dhoif dan palsu.
    InsyaAllah ntar, adek2nya Khansa ga di adzanin lg deh.

  19. alhamdulilah senang bah, bisa mampir ke blog anda, smg Allah senantiasa meringankan setiap langkah kita menuju ridho-Nya, amin


Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.
Entries dan komentar feeds.